Menjelang pemilu gini suasana mulai panas. Black campaign merajalela. Heran deh gw sama orang-orang ini. Mau-maunya belain orang pakai kacamata kuda, menutup diri atas realita sebenarnya. Sedih? Iyalah, pasti. Pantesan gampang banget terjadi kerusuhan, mudah di provokasi.
Waktu gw kecil, inget banget. Betapa kecewanya gw, ketika orang yang gw sayang ternyata bukan seseorang yang baik. Tidak sebaik dan selalu benar seperti 'image' awalnya. Menghadapi kekecewaan gw itu dia berpesan, "Aku hanyalah manusia biasa. Ketika dulu aku bersikap menjadi yang paling benar, karena usiamu membutuhkan satu role model yang benar. Pada akhirnya, aku membuatmu kecewa." Pun begitu, saat akhirnya gw membaca biografi penyair yang gw suka karyanya. Sebuah kemarahan, karena tokoh yang gw suka, ternyata tidak sempurna. Time grows. Semakin lama gw semakin menyadari, sebaik-baiknya manusia, ada khilafnya, ada salahnya. Sampai kapanpun, tidak ada yang 100% sempurna. Pada tahapan ini, gw merasa gw jadi orang yang lebih bertoleransi kepada orang lain. Menjalani hidup di dunia perstatistikan (pada akhirnya kita akan memahami tidak ada yang tidak mungkin), dan memiliki suami yang luar biasa pengertiannya (beda banget ama saya yang luar biasa emosiannya, hehehe), membuat gw makin punya banyak cara pandang terhadap satu permasalahan. Kekhawatiran gw bermula sejak Pilkada pertama yang gw alami, di era berjayanya social media. Sebuah alat, blackberry, yang katanya sih smartphone, di tangan orang-orang yang ga paham smart itu apa. Jengkel rasanya tiap hari dicekokin broadcast ga penting. Hasutan, yang pengen rasanya nanya satu-satu, tau ga sih elu kejadian sebenernya? Ah, tapi mereka berlindung di balik alibi, hanya ikut meneruskan. Yee.... emang elu kaga ikut bersalah gitu kalau ikut menyebarkan hoax. Sama aja kali. Mau di sepakbola, pilkada, pilpres, apa aja deh, gw paling ga suka liat orang yang mendukung membabi-buta. (Masih nyengir dengan babi buta ini. Terus terang gw pernah bingung, kenapa ga sapi buta, kambing buta, banteng buta. Temen gw bilang, babi itu bisa liat aja jalannya maen sradak sruduk. Bayangin kalau dia buta....) Oh please, bisa gitu menjamin yang dia dukung itu 100% benar? Haha.... menjamin diri gw aja gw ga yakin. Disuruh menjamin orang lain lagi? Ih, siapa situ? Buat gw, mendukung seseorang itu bukan dengan mengiyakan semua tentangnya, membenarkan semua yang datang darinya, dan selain itu, salah. Itumah mental penjilat, bukan pendukung. Hehehe.... Pengkultusindividuan. Sederhana, tapi berbahaya. Mengkultuskan seseorang, sampai ga bisa menilai lagi, benar tidaknya tindakannya. Gw memutuskan untuk berhenti golput sejak 2012. Bukan apa-apa, meningkat kepercayaan terhadap politikus sih engga, tapi gw sadar aja, menyelenggarakan pemilu itu biayanya tidak sedikit. Jika gw tidak memanfaatkan hak gw, itu jadinya mubadzir. Dan mungkin, kalau semua yang berakal memilih golput, maka sisa pemilih adalah orang-orang yang kurang berakal. Hehe, jadi ya jangan protes kalo kemudian hasilnya tidak sesuai harapan. Salah sendiri ga milih. Tapi ya itu, be a smart voter. Jangan karena calonnya ganteng dan berkharisma (mudah-mudahan dah pada insyaf tuh yang milih cuma berdasarkan postur dan tampang), atau karena populer luar biasa. Masalah populer, tuh yang lagi ngetem di penjara mendadak populer karena gaya bahasa jaka sembung-nya, ikhlas dipimpin pimpinan kaya gitu? Cuma bermodalkan popularitas. Memilihlah menggunakan akal. Untuk Indonesia yang lebih baik. Pilih kombinasi yang memungkinkan (bekerja dalam tim) dan terbaik di antara yang ada. Gunakan hak pilihmu, temans. Tentukan pilihan! Be a smart voter.
0 Comments
"Jokowi memang tidak separah Joseph Estrada, tapi jangan memilih dia karena popularitasnya saja," kata Amien. Ada dua hal yang saya setuju dari artikel ini.
Pertama, saya juga pengennya beliau (Jokowi) membuktikannya dulu dengan Jakarta. Tapi inget pesan alm. Bang Amir Husin Daulay, jangan sampai kehilangan moment-nya. Kedua, yap, jangan memilih berdasarkan popularitasnya. Yang satu ada yang mengklaim pengikut twitter-nya banyak (padahal sebagian besar mengikuti supaya puas ngeledekinnya), yang satu mengklaim penggemarnya banyak (di dunia musik, mungkin, sebagai calon pemimpin, I don’t think so), yang satu diklaim sebagai media darling (ya opo toh, kerja dikit, pencitraan; ga kerja, diprotes; ga ada benernya kayanya). Selebihnya? Pengalaman mengajarkan saya, tidak ada yg 100% benar. Pengkultusindividuan membuat orang jadi melakukan pembelaan membabi-buta (inget, kenapa bukan mensapi buta, mengkambing buta, babi itu bisa liat aja nyeruduk, apalagi buta? Siapa ya yg dulu menerjemahkan peribahasa ini ke saya?). Dampak nyata dari pengkultusindividuan ini adalah: apapun, selama itu orang yang kita suka yg melakukannya, pokoknya jadi bener, yang lain salah. Iya kalo pas dia inget bener terus, padahal manusia ada salahnya. Buat saya memberikan dukungan kepada seseorang itu bukan dengan mengiyakan semua tindakannya, dan mentidakkan semua ucapan pesaingnya. Membuat berita ini berimbang bukan dengan cara saya harus balik menjelek-jelekkan Amin Rais kan? Kalo gitu, apa bedanya saya dengan Amin Rais? Jangan memilih seseorang karena popularitasnya. Pilih karena hal yg lain, apa itu? Riset dulu, calon-calon lainnya kaya apa. Yakinkan diri dulu, mana yang terbaik dari yg ada. Jadi penentu pilihannya, bukan pada popularitasnya. Tapi pada rekam jejaknya. Masalah Indonesia ini kompleks. Mau Obama, atau siapa kek jadi presiden Indonesia sekarang, ga akan bisa benerin Indonesia dalam waktu 5 tahun. Indonesia bukan cuma Jakarta. Tapi di Jakarta kelihatan nyata masalah-masalah Indonesia. Konflik antar suku, premanisme, korupsi, pemda yang beranggapan kegiatan itu adalah proyek, ketidakmerataan pembangunan (di kelapa gading sekalipun, ada yg masaknya pakai kayu bakar). Memangnya rekam jejak Jokowi ga bagus, Fa? Apa Jokowi ga punya program unggulan? Punya. KJS. Kalau saya sakit, saya akan lebih milih pakai KJS daripada ASKES PNS. Yang didapatkan lebih baik. Karena KJS itu pula, ketika ponakan saya operasi patah tangan, dia terbebas dari biaya operasi yg hampir 15jt-an. Sayangnya, KJS menyisakan masalah. Ada beberapa RS yang sudah dan ingin menarik diri dari program ini. PR-nya belum selesai, gimana supaya RS yang ingin menarik diri diri program ini ga nambah lagi. Di eranya Jokowi-Ahok, Pemda DKI kaya baru bangun tidur. Mereka tiba-tiba diingetin, kalo mereka itu hanya 'pelayan masyarakat', bukan penguasa. Yang masih pakai budaya kerja raja-rajaan berguguran. Etos kerja pun membaik. Dulu kalo mau ijin survey ke kantor kelurahan lebih sering sepinya dari ramenya, sekarang kantor lurah hidup. Nice.... Nah, maunya saya, terus tambahin dulu catatan positifnya Jokowi. Jadi kalo mau maju jadi capres pun sudah dengan bukti. Bukan dengan popularitas semata. Karena untuk level Indonesia, ga bisa dia datengin kantor gubernur satu-satu untuk memperbaiki etos kerjanya, ga mungkin dia bisa dateng diem-diem kaya apa yg dia lakukan di Jakarta. Itu baru untuk satu contoh kasus. Masih banyak kasus lainnya.... Matang dulu lah dengan segala ujian, cobaan, di Jakarta. Jangan ujug-ujug di karbit jadi Presiden. Inget, budaya masyarakat Indonesia itu hobby menghujat. Presiden mana yg ga kena hujat? Hehehe.... prestasinya selama jadi presiden kelelep gitu aja sama kesalahan-kesalahannya. Tapi ya sekali lagi, ini opini saya lho.... emang ngaruh apa opini saya ke pencalonan Jokowi jadi capres atau engga? Lol.... Inti dari tulisan saya ini, BE A SMART VOTER. Bagaimana kita yakin pilihan kita yang terbaik kalau ga ada pembandingnya? Kalau masalah prestasi mah, gampang.... semua bisa melihat, bisa menilai. Tapi bagaimana mengcover kelemahan-kelemahannya? Itu yg saya maksud dengan tambah lagi prestasinya. Buktikan, bahwa dia bukan cuma populer, tapi juga bisa diandalkan. #sayang juga kalau cuma jadi komentar facebook, diarsipkan deh.... =D Adakalanya kita harus merasakan pahitnya kegagalan. Supaya kita paham, keberhasilan itu buah dari kerja keras, bukan selalu mengandalkan keberuntungan dan belas kasihan.
Terus sajalah menyalahkan orang lain atas kegagalanmu, dan tidak ada yang akan kau dapatkan, selain kegagalan itu. Opsi lainnya adalah belajar dari kegagalan itu, perbaiki. Buat orang-orang yang meragukanmu melihat, kamu sungguh berusaha untuk berhasil. Meski judulnya smartphone, ga lucu kalo phone nya lebih pinter dari yang pake. *nyengir*
Terus, kalau bodoh ga boleh pakai smartphone, Fa? Emang ada orang bodoh? Males kali. Semua juga awalnya dari ngga tau kan. Setidaknya, berusahalah biar ga dikerjain sama phone-nya. Kadang fatal akibatnya, kadang biasa aja sih tapi tengsin luar biasa. Jadi, kalau emang pengen pakai smartphone, try to be smarter than your phone.... Hidup adalah tentang bagaimana akal dapat mengendalikan hati. Mengalahkan ego, memaafkan kekurangan, merendahkan hati, dan semua hal tentang perasaan lainnya.
Teruslah mencari! Awal 2008, seorang perempuan ditemukan tak bernyawa dalam keadaan tanpa kepala dan berbadan dua, di sebuah hotel di Jakarta. Pelakunya adalah kekasih korban, yang sakit hati karena terus dihina, setelah korban mengetahui bahwa pelaku hanyalah tukang nasi goreng, bukan mahasiswa sekolah tinggi ternama sekaligus pegawai di bank swasta seperti pengakuannya di awal. Berita lengkapnya ada di sini.
2011, seorang kerabat saya tertipu mentah-mentah dengan janji nikah seseorang yang dikenalnya di fb, ketemu aja belum pernah, yang juga mengaku alumni PTN di Yogya dan juga pegawai bank swasta. (Thanks buat temen-temen BPS yang berdomisili di Yogya yang sudah rela bantuin verifikasi). Untung hanya sejumlah uang yang hilang, bukan nyawanya. 2013. Seorang perempuan muda dengan sukses mempermalukan dirinya sendiri dengan mendokumentasikan penipuan tahun ini, mencatatkan dirinya dalam sejarah ketika bertunangan dengan (katanya sih) lulusan s3 dari Amerika. Duh kok saya sedih ya. Padahal yang perlu dilakukan hanyalah sedikit *kepo* untuk menelusuri rekam jejak akademis orang-orang itu. Kalau dia pernah/masih kuliah di Indonesia, maka basis datanya bisa diintip di situsnya dikti. Taruhlah dia mengaku lulusan luar negeri. Minimal ada hasil penelitiannya yang dipublikasikan dan bisa ditelusuri. Cinta itu ga pake logika? Salah besar. Meski cinta, tetap harus logis kalo ga mau jadi gila. Kepo terhadap calon pasangan itu wajib! Jadi ga ada lagi tuh curhatan "gw sebel sama suami gw, ngomongnya kasar ga ada sopan santunnya...." Lah waktu dilamar diperiksa ga nilai bahasanya, agamanya, budi pekertinya, di rapor? Hehe.... Ayolah, ini 2013. Tetap waspada ya sahabat-sahabat perempuanku. Yuk, stop! Dari kemarin sebenernya ini jempol udah gatel banget pengen nulis. Hello... umur 29 lulusan S3 dari Amerika? Pastinya dia bakalan jadi pembicara di seminar-seminar, jadi pakar! (Ingetin saya lagi buat nulis berbohong tentang kemampuan akademis itu mudah mendeteksinya) Hari ini tambah mules. Beberapa kawan saya ketularan gaya Vicky. Buat becandaan sih pastinya. Saya percaya mereka lebih pinter dari itu. Tapi khawatir. Kenapa jadi kaya iklan gini? Rugi tau mempopulerkan ketidakmampuan dia dalam menyampaikan isi kepalanya. Please stop. Sebelum anak-anak kita menganggap itu lucu, dan kemudian menggunakannya dalam bahasa keseharian. Alay juga tadinya buat lucu-lucuan kan? Sekarang udah jadi kebiasaan... Sudah cukup mengkhawatirkan kemampuan sebagian besar rakyat Indonesia dalam berbahasa. Gak perlu deh mempopulerkan yang jelas-jelas hancur begitu. Tidak perlu angkat bambu runcing untuk bela negara, tidak ikut menyebarkan kebodohan berbahasa sudah merupakan kecintaan terhadap negara dalam bentuk yang paling sederhana. (ga ngerti ini gambar sumbernya dari mana, dapat dari grup alumni STIS41) Pantesan anaknya begini, orangtuanya begitu. Bla bla bla... pada pinter emang orang kalo ngomong. Pernah ya ngerasain jadi anak yang begini, dari orangtua yang begitu?
Anak, tidak bisa memilih siapa orangtuanya. Given! Namun dia menanggung akibat dari setiap tindakan orangtuanya. Cacilah. Makilah. Dan dia akan terus membatu. Orangtua, berusaha membahagiakan anaknya (menurut versinya). Dengan latar belakangnya, kemampuannya, gaya komunikasinya, yang menjadikan pola asuh yang berbeda. Ga bisa disama-samain (emangnya robot, bisa diketik baris perintahnya, tekan enter dan voila...?). Katanya, orangtua itu harusnya dewasa. Apa sih di dunia ini yang selalu berjalan dengan semestinya ketika itu menyangkut tingkah dan laku manusia? Jika tak dapat berkata baik, atau berbuat baik, diam sajalah. Ambil hikmahnya. Yakinkah kita di posisi yang sama dapat melakukan hal yang lebih baik? Penting ya menambah perih di atas luka yang masih terbuka? Semoga yang diuji lulus dari ujiannya dan naik kelas menjadi manusia yang lebih baik lagi. Dan untuk adik-adikku yang manis, berdamailah dengan waktu. Berhentilah menyalahkan keadaan. Setiap menit kan berlalu, waktu tak akan menunggu kita, jemput masa depanmu. Di warung bakso, bersama sahabat. Datang seorang nenek, memesan bakso. Setelah baksonya datang, ada saja yang kurang. Kurang sayur, kurang asin, kurang ini, kurang itu. Si pelayan dimarahi habis-habisan, dengan kata-kata yang tidak pantas. Saya saja risih mendengarnya.
Sungguh luar biasa hati sang pelayan. Untuk 10000 rupiah saja dia harus menahan semua ucapan itu. (Kalau saya, apa bisa sesabar itu?) Kemudian bercermin, melihat kecenderungan saya yang suka mengkritisi segala sesuatu. Menghela nafas dan berkata dalam hati "Semoga tua nanti, saya tak seperti nenek itu" Hari ini saya menemukan sesuatu yang menarik, yang akhirnya membuat saya dapat memahami argumen Sandro Del-Prete, dengan lukisannya Message of Love from the Dolphins, bahwa orang dewasa itu lebih sering menggunakan pengalamannya memahami informasi, benar terjadi pada saya. Lukisannya seperti apa, bisa dilihat di sini http://www.planetperplex.com/en/item/message-of-love-from-the-dolphins/
Allah itu hebat. Ketika saya ragu atau penasaran dengan sesuatu hal, secara sederhana saya akan diperlihatkan di kemudian waktu, jawaban dari keraguan saya itu. Seringnya saya hanya tersenyum sendiri. Walaupun demikian, saya mengagumi, cara-Nya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan *gak masuk akal* saya. Beberapa waktu lalu saya sempat membuat status bahwa saya mulai jenuh dengan status nya Mario Teguh. Sederhana, keseringan update status teamnya beliau. Segala sesuatu yang berlebihan jadinya ngga baik kan? Dan teman saya, Bagus (http://www.facebook.com/abi.fadila), mereferensikan page Darwis Tere Liye (http://www.facebook.com/darwistereliye). Hihihi... Demi apa, tadinya saya pikir yang nulis novel-novel itu (yang saya niat beli tapi belum kebeli jadinya belum pernah baca), adalah Tere yang artis dan mantan anggota DPR itu. Dan, oh, ternyata beliau laki-laki. Hahahaha... *siap menerima kritikan fans nya Darwis Tere Liye* Kemudian, mulailah status-statusnya beliau muncul di Home saya. Hmm... Kesimpulan awal saya kemarin-kemarin adalah orangnya puitis dan pintar memilih kata, khas seniman. Untuk orang yang menyukai seni, pilihan kata yang baik dalam menjelaskan hal itu adalah suatu keindahan, termasuk misteri dibaliknya. Tetapi, buat orang yang suka eksak, seringkali sebal bagaimana hal yang sederhana harus dibuat rumit bahasanya. Untuk yang setengah-setengah seperti saya (saya belum menemukan *complete version of me*, sampai saat ini saya merasa masih setengah-setengah), saya menikmati perbedaan pandangan di antara keduanya. Dan berpikir bahwa keduanya dibutuhkan. Manusia memiliki kebutuhan akan keindahan, juga perlu logika dalam menyelesaikan permasalahan. Tinggal kapan harus pakai yang mana (my favourite quote kalau ada mahasiswa yang bertanya kunci untuk memahami segala macam uji statistik yang ada). Sehabis baca-baca berita (kebiasaan saat nunggu alif attar pulang sekolah), dan baca komentar di fb, muncul status Darwis Tere Liye yang isinya, "Bukankah kita sering terlintas ingin menyebutkan di mana kita sekolah/kuliah, agar orang2 tahu siapa kita? Dan lebih tinggi lagi godaan untuk menyebutkannya saat berdebat, atau dalam momen2 lain untuk membuat orang terkesan. My dear anggota page, itulah yang disebut bisikan kusam, datang dari hati yang berbisul. Apalagi jika maksudnya adalah untuk merendahkan orang lain yang sekolah/kuliah di tempat yg menurut kita tidak se-elit sekolah kita. Kita tidak perlu membangga2kan hal yang tidak perlu dibanggakan. Karena diluar sana, banyak orang yang sekolah/kuliah di tempat lebih baik dibanding kita dan mereka memilih rendah hati." Permalink-nya ada di sini http://www.facebook.com/darwistereliye/posts/526220774095162 Tertarik untuk baca-baca komentarnya. Ternyata, komentar-komentar orang itu bisa sangat macam-macam di luar konteksnya. Sebagai seseorang yang juga mencantumkan sekolah di informasi FB, saya melakukannya agar mudah mencari teman dari almamater yang sama. Karena prinsip pencarian di social media menggunakan keyword, dimana nama sekolah adalah salah satunya. Jadi saya cuma senyum-senyum saja baca status ini, karena di dunia nyata, ego almamater, ego angkatan, meski kita tidak suka, bukti fisiknya banyak. Lalu saya baca postingan yang ini "Kenapa orang2 mencantumkan gelar Haji, padahal mereka tidak mencantumkan gelar: Syahadat, Shalat, Puasa dan Zakat? Kan keren kalau nama saya jadi H. Tere Liye, S, Sh, P, Z Kenapa orang2 mencantumkan gelar sarjana, master, doktor, padahal mereka tidak mencantumkan gelar: TK, SD, SMP dan SMA? Kan keren kalau nama saya jadi Tere Liye TK, SD, SMP, SMA, S1, S2 dan S3? **Postingan ini khusus buat kalian remaja/masih sekolah yang belum terkontaminasi cara berpikir orang dewasa yang kadang tidak prinsipil dan penuh kulit bawang berlapis2 argumen pembenaran. Pikirkanlah. Kalian adalah generasi penerus dgn janji pemahaman yg lebih baik, kalian adalah 2/3 anggota page ini, mayoritas." Permalink-nya ada di sini http://www.facebook.com/darwistereliye/posts/526231547427418 Tadinya mau komen gini "Pastinya itu orang yang pasang-pasang gelar ga punya nama sepanjang saya. Karena dengan nama sepanjang saya, memastikan nama saya termuat dengan sepantasnya di field yang disediakan untuk nama saja sudah susah, mau nambahin gelar lagi..." Karena awalnya mau komen, jadi baca-baca komen sebelumnya. Ada yang menganggap penting ya untuk dibahas (lha itu kan page-nya dia, mau bahas apa juga terserah dia), ada yang komentar sinis amat (sebagai seorang juteker -istilah saya untuk orang-orang jutek- saya bisa menerima kalau orang itu kadang-kadang sinis, tapi kalau sinis itu untuk kritik yang positif, meski kita ngga suka nadanya, diterima aja kenapa sih?), ada yang bilang orang-orang itu sombong, dan sebagainya. Yang akhirnya saya juga kemudian komen. Setelah komentar, baca-baca lagi komentar di atasnya, ada komentar yang punya posting. Ahahaha... Betul, saya lupa, ada catatan di situ "Postingan ini khusus buat kalian remaja/masih sekolah". *jadi malu* Dan melihat komentar Marisa Khansa ini, "kalo mnurut penyerapan saya (baru kelas 11) stelah membaca ini, karena orang yg sudah sarjana, master ataupun doktor sudh pasti mreka brhasil mlewati TK, SD, SMP, dan SMA. jadi kalau kita sudah Haji, seharusnua kita juga berhasil menjalani syahadat, shalat, puasa, zakat dan lain2. bukan cuma dijalankan, tapi benar2 mngerjakannya semata2 karna Allah. mm, itu mnurut pandangan saya sih. maaf kalau salah" Saya jadi ingat lukisan Sando Del-Prete tadi. Apakah jawaban sebenarnya memang: Orang menggunakan gelar Haji, tapi tidak syahadat, sholat, puasa, zakat, karena dengan gelar hajinya seharusnya dia memang sudah melakukan empat rukun islam yang pertama. Orang yang menggunakan gelar Prof, karena tanpa perlu menyebutkan master dan sarjana nya karena semua orang sudah tau, dia jadi Prof setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Hehehe... Kok jadi kaya tebak-tebakan yaa? Tapi saya suka tebak-tebakan. Tapi tetap aja untuk kemungkinan jawaban yang kedua itu, saya pasti akan ngeyel... Ada kok yang dapat gelarnya beli di online shop =D Sambil nyengir dan penasaran sebenarnya maksud beliau itu apa. Kalau kamu teman, akan jawab apa? ^_^V |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|